13 Juni, 2009

DOKTER DAN PASIEN

Lanjutan bacaan
Panduan Etika Medis BAB II



TUJUAN
• menjelaskan mengapa setiap pasien berhak dihargai dan diperlakukan sama;
• mengidentifikasi elemen pokok dalam ijin berdasarkan pemahaman;
• menjelaskan bagaimana keputusan medis harus dibuat bagi pasien yang tidak dapat membuat keputusan sendiri;
• menjelaskan pembenaran kerahasiaan pasien dan mengenali pengecualian yang benar terhadap perkecualian kerahasiaan;
• merangkum argumen yang mendukung dan menentang euthanasia/bantuan bunuh diri dan
perbedaan tindakan tersebut serta terapi palliatif dan perawatan.

”Kesehatan pasien akan selalu menjadi pertimbangan pertama saya”

KASUS NO. 1

dr. P seorrang ahli bedah yang berpengalaman, baru saja akan menyelesaikan tugas jaga malamnya di sebuah rumah sakit tipe menengah. Seorang wanita muda dibawa ke RS oleh ibunya, yang langsung pergi setelah berbicara dengan suster jaga bahwa dia harus menjaga anak-anaknya yang lain. Si pasien mengalami perdarahan vaginal dan sangat kesakitan. dr. P melakukan pemeriksaan dan menduga bahwa kemungkinan pasien mengalami keguguran atau mencoba melakukan aborsi. dr. P segera melakukan dilatasi dan curettage dan mengatakan kepada suster untuk menanyakan kepada pasien apakah dia bersedia opname di RS sampai keadaaanya benar-benar baik. dr. Q datang menggantikan dr. P, yang pulang tanpa berbicara langsung kepada pasien.

APA YANG MENARIK DARI HUBUNGAN DOKTER-PASIEN?
Hubungan dokter-pasien merupakan pondasi dalam praktek kedokteran dan juga etika kedokteran. Seperti disebutkan dalam Deklarasi Jenewa dokter menyatakan: ”Kesehatan pasien akan selalu menjadi pertimbangan pertama saya” dan Kode Etik Kedokteran Internasional menyebutkan: ”Dokter harus memberikan kepada pasiennya loyalitas penuh dan seluruh pengetahuan yang dimilikinya”. Seperti disebutkan dalam Bab I, interpretasi hubungan dokter-pasien secara tradisional adalah seperti hubungan paternal dimana dokter membuat keputusan dan pasien hanya bisa menerima saja. Namun saat ini hal itu tidak lagi dapat diterima baik secara etik maupu hukum. Karena banyak pasien tidak bisa atau tidak bersedia membuat keputusan perawatan kesehatan untuk mereka sendiri maka otonomi pasien kadang sangat problematik. Aspek lain dalam hubungan tersebut juga sama problematik seperti kewajiban dokter untuk menjaga kerahasiaan pasien di era rekam medis dan manajemen perawatan sudah terkomputerisasi dan tugas dokter serta untuk mempertahankan hidup juga mendapat permintaan untuk mempercepat kematian.

Bagian ini akan membahas enam topik yang biasa dihadapi dokter terutama masalah yang menjengkelkan dokter dalam praktek keseharian: penghargaan dan perawatan yang sama; komunikasi dan persetujuan; pengambilan keputusann untuk pasien yang tidak kompeten; kerahasiaan; masalah di awal kehidupan; dan masalah di akhir kehidupan.

PENGHARGAAN DAN PERLAKUAN YANG SAMA
Kepercayaan bahwa semua manusia layak mendapatkan perhormatan dan perlakuan yang sama sebetulnya sesuatu yang masih baru. Sebagian masyarakat masih menganggap bahwa tidak menghargai, perlakuan yang tidak sama terhadap seseorang atau sekelompok orang masih dapat diterima. Perbudakan merupakan salah satu praktek yang belum terberantas di Amerika dan Eropa sampai abad ke-19 dan masih ada di beberapa bagian di dunia ini. Akhir dari deskriminasi dalam kelembagaan terhadap orang yang tidak berkulit putih di negara seperti Afrika Selatan baru saja terjadi. Wanita masih saja mengalami kurang dihormati dan mendapat perlakuan yang tidak sama di banyak negara. Deskriminasi karena cacat, atau karena orientasi seksual masih banyak terjadi. Sehingga jelas masih ada banyak pertentangan terhadap klaim bahwa orang haruslah diperlakukan sama.

Perubahan terhadap kemanusiaan bahwa semua manusia adalah sama terjadi secara gradual dan masih dilakukan sejak abad ke-17 dan 18 di Eropa dan Amerika Utara yang dipimpin oleh dua ideologi yang berbeda: interpretasi baru terhadap kepercayaan Kristen dan rasionalisme anti-Kristen. Yang pertama menginspirasi Revolusi Amerika dan Bills of Right sedangkan yang kedua menjiwai Revolusi Perancis dan perkembangan politik setelahnya. Di bawah kedua pengaruh tersebut demokrasi secara gradual mulai terjadi dan menyebar ke seluruh dunia yang berdasar pada kepercayaan persamaan politik untuk semua laki-laki (dan kemudian untuk semua wanita) dan hak mengatakan siapa yang harus memimpin.

Pada abad ke-20 terjadi elaborasi konsep bahwa semua manusia adalah sama dalam hak asasi manusia. Salah satu keputusan yang dibuat oleh PBB adalah Universal Declaration of Human Rights (1948) dimana pasal 1 menyebutkan: ”Semua manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dan sama dalam martabat dan hak-haknya”. Banyak organisasi nasional dan internasional telah menghasilkan pernyataan-pernyataan hak-hak asasi manusia baik untuk semua orang, semua warga negara tersebut, atau untuk kelompok individu tertentu (hak anak, hak pasien, hak konsumen, dll). Banyak organisasi telah dibentuk untuk menjalankan hak-hak tersebut. Namun sayang hak-hak asasi manusia masih belum dihormati di banyak negara.

Profesi kesehatan mempunyai perbedaan sudut pandang mengenai persamaan dan hak-hak pasien. Satu sisi dokter paham bahwa tidak boleh ”membiarkan pertimbangan usia, penyakit atau kecacatan, keimanan, etnik, jenis kelamin, nasionalitas, keanggotaan politik, ras, orientasi seksual, atau posisi sosial mengintervensi tugas saya dan paien saya” (Deklarasi Jenewa). Pada saat yang sama dokter juga mengklaim bahwa mereka berhak menolak atau menerima pasien kecuali dalam keadaan gawat.

Walaupun pembenaran penolakan ini berhubungan dengan keseluruhan praktek atau kurangnya spesialisasi dan kualifikasi pendidikan, namun jika dokter tidak memberikan alasan penolakan tersebut maka dengan mudah dikatakan dokter telah melakukan deskriminasi. Dalam hal ini hati nurani pasien mungkin satu-satunya cara mencegah pelecehan terhadap hak-hak orang lain, bukan hukum ataupun penegak disiplin.

Bahkan walaupun dalam memilih pasien dokter tetap menghargai dan memandang sama, dokter dapat saja tidak melakukan hal sama dalam hal perilaku dan perawatan yang diberikan kepada pasien. Kasus yang diberikan pada awal bab ini menggambarkan hal tersebut. Seperti dijelaskan dalam Bab I, belas kasih merupakan salah satu nilai inti dari pengobatan juga merupakan elemen pokok dalam hubungan terapi yang baik.

Belas kasih berdasarkan pada penghargaan terhadap kehormatan pasien dan nilai yang ada, dan lebih jauh lagi menghargai dan merespon terhadap kerentanan pasien dalam hal penyakit da/atau kecacatan. Jika pasien merasakan belas kasih dan penghargaan dokter, mereka akan lebih percaya terhadap dokter untuk bertindak berdasarkan kepentingan terbaik pasien dan kepercayaan ini dapat menjadi andil terhadap proses penyembuhan.

Kepercayaan yang sangat penting dalam hubungan dokter-pasien secara umum diartikan bahwa dokter tidak boleh mengabaikan pasien yang perawatannya telah mereka lakukan. Kode Etik Kedokteran Internasional dari WMA menyatakan bahwa satu-stunya alasan yang dapat mengakhiri hubugnan dokter-pasien adalah jika pasien memerlukan perawatan dokter lain untuk keahlian yang berbeda: ”Seorang dokter harus memberikan kepada pasiennya loyalits penuh dan semua pengetahuan yang dimilikinya”. Jika pemeriksaan atau tindakan di luar kapasitas seorang dokter dia harus menyerahkan kepada dokter lain yang mempunyai kemampuan yang diperlukan. Walaupun demikian ada banyak alasan lain mengapa seorang dokter ingin mengakhiri hubungan dengan pasien, seperti dokter tersebut pindah atau berhenti praktek, penolakan pasien atau ketidak mampuan membayar perawatan, ketidaksukaan dokter atau pasien, penolakan pasien melakukan perintah dokter, dll.

Alasan tersebut mungkin dapat saja diterima, namun dapat juga tidak etis. Saat melakukan tindakan dokter harus memperhatikan kode etik atau petunjuk lain yang sesuai dan secara hati-hati meneliti motif mereka. Dokter-dokter harus disiapkan untuk dapat membenarkan tindakan
mereka, terhadap diri mereka sendiri, kepada pasien, dan
kepada pihak ketiga yang sesuai. Jika motif tersebut benar, dokter harus membantu pasien mencari dokter lain yang sesuai atau
”...dalam mengakhiri hubungan dokter- pasien........Dokter-dokter harus disiapkan untuk dapat mengoreksi tindakan mereka, terhadap diri mereka sendiri, kepada pasien, dan kepada
pihak ketiga yang sesuai. jika hal tersebut tidak mungkin, dokter harus memberitahukan hal tersebut sebelumnya, mengenai penghentian perawatan sehingga pasien dapat mencari alternatif perawatan medis. Jika motif yang ada tidak benar seperti prasangka yang tidak berdasar, dokter harus mengambil langkah untuk menghadapi defek yang mungkin terjadi. Banyak dokter, terutama yang bekerja di sektor publik, sering tidak mempunyai kemampuan untuk memilih pasien yang akan mereka rawat. Beberapa pasien dapat saja berbahaya dan dapat mengancam keselamatan dokter, yang lainnya tidak menyenangkan karena sifat anti sosialnya serta perilakunya.
Apakah pasien-pasien seperti ini masih berhak mendapatkan hak untuk dihargai dan diperlakukan sama, ataukah dokter diharuskan melakukan tindakan lebih atau bahkan heroik untuk menciptakan dan menjaga hubungan terapi mereka? Jika berhubungan dengan pasien seperti ini, dokter harus menyeimbangkan tanggung jawab terhadap keselamatan dan kebaikan diri mereka dan juga staf-stafnya dengan tugasnya untuk menyembuhkan.

Dokter harus berusaha mencari jalan agar kedua kewajiban tersebut dapat terpenuhi, dan jika tidak mungkin, harus dicari alternatif perawtan pasien. Tantangan lain terhadap prinsip penghargaan dan perlakuan yang sama bagi pasien muncul dalam perawatan pasien infeksi. Fokusnya sering kali pada pasien HIV/AIDS, tidak hanya karena penyakitnya yang mengancam jiwa namun juga karena hal itu sering dikaitkan dengan prasangka sosial. Namun ada banyak penyakit infeksi lain yang lebih mudah ditularkan kepada pekerja kesehatan dibanding HIV/AIDS. Beberapa dokter ragu dalam melakukan prosedur invasif terhadap pasien dengan kondisi tersebut karena kemungkinan dokter dapat tertular. Namun demikian, kode etik kedokteran tidak membuat perkecualian terhadap pasien infeksi karena memang kewajiban dokter untuk memperlakukan semua pasien secara sama. Berikut adalah Statement on the Professional Responsibility of Physicians in Treating
AIDS Patient yang dikeluarkan oleh WMA:
• Pasien AIDS harus mendapatkan perawatan yang tepat dengan belas kasih dan penghargaan martabat manusia.
• Seorang dokter tidak boleh menolak secara etis untuk melakukan tindakan terhadap pasien yang kondisinya dalam kompetensi dokter, hanya karena pasien tersebut seropositif.
• Etika kedokteran tidak membenarkan deskriminasi berdasarkan kategori tertentu terhadap pasien hanya karena seropositif tersebut. Seorang yang menderita AIDS memerlukan perawatan yang tepat dan dengan belas kasih.
• Seorang yang menderita AIDS memerlukan perawatan yang tepat dan dengan belas kasih. Dokter yang tidak sanggup memberikan perawatan dan pelayanan yang diperlukan oleh pasien AIDS harus membuat rujukan yang sesuai terhadap dokter atau fasilitas yang dapat memberikan pelayanan yang diperlukan. Sampai rujukan didapatkan, dokter harus terus merawat pasien berdasarkan kemampuan terbaik yang dimilikinya.
Hubungan dokter-pasien yang memang intim dapat memunculkan ketertarikan seksual. Aturan dasar dalam etika kedokteran tradisional adalah ketertarikan seperti itu harus dicegah. Sumpah Hippocrates: ”Tak peduli rumah yang aku kunjungi, saya akan datang demi keuntungan si sakit, tetap bebas dari semua niat yang tidak benar, perilaku yang tidak menyenangkan, dan khususnya hubungan seksual baik dengan pria atau wanita ....”. pada tahun-tahun terakhir ini, banyak ikatan dokter mengubah larangan hubungan seksual antara dokter dan pasien mereka. Alasannya tentu saja sevalid seperti yang digunakan oleh Hippocrates 2500 tahun yang lalu. Pasien adalah orang yang sangat rapuh dan percaya terhadap dokter untuk merawat mereka dengan baik. Mereka mungkin tidak akan dapat mencegah adanya ketertarikan seksual terhadap dokter sehingga perawatan yang dilakukan akan kacau. Dan terlebih lagi keputusan klinik seorang dokter dapat saja dipengaruhi oleh adanya keterlibatan emosional dengan pasien.

Alasan yang terakhir tersebut sangat mungkin terjadi ketika dokter merawat anggota keluarganya, yang sangat dicegah dalam berbagai kode etik kedokteran yang ada. Namun seperti dalam beberapa pernyataan kode etik kedokteran yang lain, aplikasinya bisa sangat beragam tergantung keadaannya. Sebagai contoh dokter praktek seorang diri yang bekerja di daerah terpencil mungkin harus memberikan perawatan medis kepada anggota keluarganya terutama dalam keadaan darurat.

KOMUNIKASI DAN PERSETUJUAN
Persetujuan yang berdasarkan pengetahuan merupakan salah satu konsep inti etika kedokteran
saat ini. Hak pasien untuk mengambil keputusan mengenai perawatan kesehatan mereka telah diabadikan dalam aturan hukum dan etika di seluruh dunia. Deklarasi Hak-hak Pasien dari WMA menyatakan:
Pasien mempunyai hak untuk menentukan sendiri, bebas dalam membuat keputusan yang menyangkut diri mereka sendiri. Dokter harus memberi tahu pasien konsekuensi dari keputusan yang diambil. Pasien dewasa yang sehat mentalnmya memiliki hak untuk memberi ijin atau tidak memberi ijin terhadap prosedur diagnosa maupun terapi. Pasien mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang diperlukan untuk mengambil keputusannya. Pasien harus paham dengan jelas apa tujuan dari suatu tes atau pengobatan, hasil apa yang akan diperoleh, dan apa dampaknya jika menunda keputusan.

Kondisi yang diperlukan agar tercapai persetujuan yang benar adalah komunikasi yang baik antara dokter dengan pasien. Jika paternalisme medis adalah suatu yang normal, maka komunikasi adalah suatu yang mudah karena hanya merupakan perintah dokter dan pasien hanya menerima saja terhadap suatu tindakan medis. Saat ini komunikasi memerlukan sesuatu yang lebih dari dokter karena dokter harus memberikan semua informasi yang diperlukan pasien dalam pengambilan keputusan. Ini termasuk menerangkan diagnosa medis, prognosis, dan regimen terapi yang konpleks dengan bahasa sederhana agar pasien paham mengenai pilihan-pilihan terapi yang ada, termasuk keuntungan dan kerugian dari masing-masing terapi, menjawab semua pertanyaan yang mungkin diajukan, serta memahami apapun keputusan pasien serta alasannya. Ketrampilan komunikasi yang baik tidak dimiliki begitu saja namun harus dibangun dan dijaga dengan usaha yang disadari penuh dan direview secara periodik.

Dua hambatan besar dalam komunikasi dokter-pasien yang baik adalah perbedaan budaya dan bahasa. Jika dokter dan pasien tidak berbicara dalam bahasa yang sama maka diperlukan seorang penterjemah. Sayangnya dalam banyak situasi tidak ada penterjemah yang memadahi dan dokter harus mencari orang yang tepat untuk pekerjaan ini. Budaya dapat memunculkan masalah dalam komunikasi karena perbedaan pemahaman budaya tentang penyebab, dan sifat dari penyakit dapat menyebabkan pasien tidak paham terhadap diagnosis dan perawatan yang diberikan. Dalam situasi seperti ini dokter harus membuat segala usaha yang mungkin untuk dapat memahamkan pasien terhadap kesehatan dan penyembuhan serta mengkomunikasikan saran-sarannya kepada pasien sebaik mungkin.

Jika dokter berhasil mengkomunikasikan semua informasi yang diperlukan oleh pasien dan jika pasien tersebut ingin mengetahui diagnosa, prognosis, dan pilihan terapi yang dijalani, maka kemudian pasien akan berada dalam posisi dapat membuat keputusan berdasarkan pemahamannya tentang bagaimana menindaklanjutinya. Walaupun istilah ijin mengandung pengertian menerima perlakuan yang diberikan, namun konsep ijin berdasarkan pengetahuan dan pemahaman juga bermakna sama dengan penolakan terhadap terapi atau memilih Pasien yang kompeten mempunyai hak untuk menolak perawatan, walaupun penolakan tersebut dapat menyebabkan kecacatan atau kematian.

Diantara beberapa alternatif terapi. Pasien yang kompeten mempunyai hak untuk menolak perawatan, walaupun penolakan tersebut dapat menyebabkan kecacatan atau kematian. Bukti adanya ijin dapat eksplisit atau emplisit. Ijin eksplisit diberikan secara lisan atau tertulis. Ijin implisit jika pasien mengindikasikan kemauannya untuk menjalani prosedur atau tindakan tertentu melalui perilakunya. Contohnya ijin untuk venipuncture (suntikan pada pembuluh vena) secara implisit diberikan melalui tindakan memberikan lengannya. Untuk tindakan yang dapat menimbulkan resiko atau melibatkan ketidak nyamanan yang tidak ringan, lebih baik mendapat ijin eksplisit bukan ijin implisit.
Ada dua perkecualian syarat untuk mendapatkan ijin berdasarkan pemahaman oleh pasien yang kompeten:
• Keadaan dimana pasien memberikan secara sukarela hak pengambilan keputusan kepada dokter atau pihak ketiga. Karena kompleksitas masalah atau karena pasien percaya sepenuhnya kepada penilaian dokter, maka pasien dapat saja mengatakan ”Lakukan apa yang menurut anda yang terbaik”. Dokter tidak boleh terlalu berani bertindak karena mendapat permintaan seperti itu, namun harus tetap memberi pasien informasi dasar mengenai pilihan tindakan yang ada dan tetap menyemangati pasien untuk mengambil keputusan sendiri. Namun setelah diberitahu dan didorong paisen tetap menyerahkan keputusan kepada dokter, dokter harus bertindak berdasarkan kepentingan terbaik pasien.
• Keadaan dimana penyampaian informasi kepada pasien dapat menyakiti pasien. Konsep therapeutic privilege (hak istimewa terapi) dapat digunakan dalam kasus tersebut dimana dokter diijinkan menyimpan informasi medis jika ternyata menyampaikannya dapat membahayakan atau menyakiti pasien secara emosional, psikologi, fisik dirinya atau orang lain; seperti jika pasien dapat melakukan tindakan bunuh diri jika diagnosa ternyata mengindikasikan adanya penyakit stadium terminal. Hak istimewa ini sangat mungkin disalahgunakan, sehingga dokter hanya boleh menggunakannya dalam keadaan yang ekstrim. Dokter harus mengawali dengan anggapan bahwa semua orang pasien dapat menghadapi semua fakta dan tetap mencoba terbuka terhadap kasus-kasus dimana dokter menganggap bahwa akan lebih membahayakan jika mengatakan kebenaran dibanding tidak mengatakannya.

Dalam beberapa budaya masih dianut bahwa dokter tidak harus memberitahukan informasi kepada pasien dengan diagnosis penyakit stadium terminal. Hal tersebut dikarenakan dirasa akan menyebabkan pasien putus asa dan menyebabkan sisa hidupnya lebih menderita dibanding jika masih ada harapan untuk sembuh. Hampir di seluruh dunia sangat umum kita jumpai bahwa anggota keluarga pasien meminta dokter untuk tidak mengatakan kepada pasien bahwa mereka sekarat. Dokter haruslah sensitif terhadap budaya dan juga faktor-faktor personal saat memberitahukan kabar buruk, terlebih lagi yang menyangkut kematian.

Walaupun demikian hak pasien terhadap persetujuan tindakan berdasarkan pemahaman telah diterima lebih luas dan dokter memiliki tugas utama membantu pasien menggunakan hak tersebut.
Sejalan dengan perkembangan tren anggapan bahwa pelayanan kesehatan merupakan produk konsumen dan pasien adalah konsumen, pasien dan keluarganya secara teratur meminta akses terhadap pelayanan medis yang menurut pendapat dokter tidak tepat. Contohnya adalah permintaan antibiotik untuk infeksi virus sampai perawatan intensif pasien dengan otak yang sudah mati atau prosedur pembedahan atau pemberian obat-obatan yang menjajikan namun belum terbukti. Beberapa pasien mengklaim hak mendapatkan layanan medis apapun yang dirasa dapat menguntungkan mereka, dan sering dokter hanya menyetujuinya bahkan dokter yakin bahwa pilihan tersebut tidak memberikan keuntungan medis terhadap kondisi pasien. Masalah ini dapat menjadi serius jika sumber terbatas dan memberikan tindakan yang sia-sia atau tidak menguntungkan terhadap seorang pasien berarti membiarkan pasien lain tidak terawat atau tidak menerima tindakan.

Kesia-siaan dan hal yang tidak menguntungkan dapat dipahami bahwa dalam keadaan tertentu seseorang dapat menentukan bahwa suatu tindakan adalah sia-sia dan tidak menguntungkan secara medis karena tidak menawarkan harapan yang masuk akal terhadap kesembuhan atau perbaikan kondisi atau karena pasiennya secara permanen tidak dapat merasakan keuntungan yang diharapkan. Pada kasus yang lain manfaat dan keuntungan suatu tindakan hanya dapat ditentukan dengan referensi dari penilaian subjektif pasien mengenai kebaikan badannya secara keseluruhan. Aturan umum mengatakan, pasien sebaiknya dilibatkan dalam menentukan ketidak manfaatan/kesia-sian dalam kasusnya, kecuali dalam keadaan tertentu seperti diskusi-diskusi, mungkin tak sesuai untuk kebaikan pasien. Dokter tidak berkewajiban menawarkan kepada pasiennya tindakan sia-sia atau hal yang tidak menguntungkan.

Dokter tidak berkewajiban menawarkan kepada pasiennya tindakan sia-sia atau hal yang tidak menguntungkan. Prinsipnya persetujuan tindakan berdasarkan pengetahuan (informed consent) berhubungan dengan hak pasien untuk memilih dari beberapa pilihan yang ditawarkan dokter. Sampai sejauh mana pasien dan keluarganya mempunyai hak terhadap suatu layanan kesehatan yang tidak direkomendasikan oleh dokter menjadi topik kontroversi yang besar dalam etika kedookteran, hukum, dan kebijakan publik. Sampai masalah ini diputuskan oleh pemerintah, penyedia asuransi kesehatan, dan/atau organisasi profesional, dokter secara pribadi harus menentukan apakah mereka harus setuju terhadap permintaan suatu tindakan yang tidak sesuai. Dokter harus menolak permintaan seperti itu jika yakin bahwa tindakan tersebut akan lebih membahayakan.

Dokter harus juga tahu bahwa mereka mempunyai hak untuk menolak jika tindakan yang akan dilakukan sepertinya tidak akan memberikan kebaikan, atau bahkan membahayakan walaupun kemungkinan efek plasebo tidak dapat diabaikan. Jika sumber- sumber daya yang terbatas menjadi masalah, dokter harus mengkonsultasikannya kepada pihak yang bertanggung jawab terhadap alokasi sumber daya tersebut.

PENGAMBILAN KEPUTUSAN UNTUK PASIEN YANG TIDAK KOMPETEN
Banyak pasien tidak kompeten dalam membuat keputusan untuk mereka sendiri. Contohnya adalah anak-anak, orang dengan kondisi neurologi atau psikiatri tertentu, atau pasien yang tidak sadar sementara atau kondisi koma. Pasien-pasien tersebut membutuhkan pengambil keputusan pengganti, bisa dokter atau orang lain. Masalah etis muncul dalam menentukan siapa yang berhak mewakili pasien dalam mengambil keputusan dan dalam memilih kriteria keputusan berdasarkan kepentingan pasien yang tidak kompeten tersebut.

Jika paternalisme medis berlaku, dokter dianggap sebagai pengambil keputusan yang tepat bagi pasien yang tidak kompeten. Dokter sebaiknya berkonsultasi dengan anggota keluarga mengenai pilihan tindakan yang ada, walaupun keputusan final ada di tangan dokter. Dokter secara gradual mulai kehilangan kewenangan ini di banyak negara, karena pasien diberi hak untuk memilih sendiri siapa yang dapat mewakilinya dalam mengambil keputusan jika memang tidak kompeten lagi.

Dan di beberapa negara bagian, secara khusus menentukan siapa yang berhak menjadi wakil pasien dalam mengambil keputusan dalam urutan ke bawah yaitu: suami atau istri, anak dewasa, kakak atau adik dan seterusnya. Dalam hal ini dokter membuat keputusan untuk pasien jika pengganti yang sudah ditentukan tidak dapat ditemukan, yang sering terjadi dalam keadaan darurat. Declaration on the Rights of the Patients yang dikeluarkan WMA menyatakan bahwa tugas dokter dalam hal ini adalah: Apakah pasien mempunyai hak atas pelayanan yang tidak direkomendasikan dokter? Jika pasien tidak sadarkan diri atau tidak dapat menyatakan keinginannya, sedapat mungkin harus tetap mendapatkan ijin dari wakil yang secara hukum sah dan relevan. Jika wakil yang sah secara hukum tidak ada, namun tindakan medis harus segera dilakukan, ijin dari pasien mungkin dapat dianggap sudah ada, kecuali jika jelas dan tidak ada keraguan berdasarkan ekspresi atau keyakinan yang jelas dari pasien sebelumnya bahwa dia akan menolak tindakan yang akan dilakukan dalam keadaan ersebut.

Masalah timbul jika mereka yang menyatakan bahwa merekalah yang sesuai sebagai wakil pasien seperti anggota keluarga tidak setuju diantara mereka sendiri, atau jika mereka setuju, keputusan yang diambil bukanlah keputusan terbaik sesuai kepentingan pasien di mata dokter. Dalam situasi yang pertama dokter dapat bertindak sbagai mediator, namun jika tetap tidak terjadi kesepakatan, dapat dipecahkan dengan jalan lain seperti voting atau menyerahkan kepada anggota keluarga yang paling tua. Dalam hal terjadi perdebatan antara wakil pasien dengan dokter. Declaration on the Rights of the Patients menawarkan saran sebagai berikut:
“Jika wakil pasien yang sah secara hukum atau orang yang telah ditunjuk pasien melarang suatu tindakan untuk dilakukan sedangkan berdasarkan pendapat dokter adalah untuk kepentingan terbaik pasien sendiri, dokter harus menolak keputusan tersebut di dalam institusi hukum yang relevan atau melalui institusi lain”.

Prinsip-prinsip dan prosedur ijin berdasarkan pengetahuan dan pemahaman (informed consent) yang telah dibahas hanya dapat diterapkan kepada wakil sebagaimana kepada pasien yang membuat keputusan sendiri. Dokter mempunyai tugas yang sama untuk memberikan semua informasi yang diperlukan untuk mengambil keputusan. Hal ini juga termasuk menerangkan diagnosis, prognosis, dan regimen terapi yang kompleks dengan bahasa sederhana, sehingga yakin bahwa wakil yang ditunjuk paham dengan berbagai pilihan tindakan yang ada, termasuk baik buruknya tindakan tersebut, menjawab pertanyaan yang diajukan, dan memahami apapun keputusan yang diambil dan jika mungkin juga alasannya.

Kriteria prinsip yang digunakan dalam mengambil keputusan tindakan apa yang terbaik bagi pasien yang tidak kompeten adalah apa yang mungkin pasien inginkan jika memang diketahui.
Keinginan pasien dapat diketahui dari permintaan atau dapat juga telah dikomunikaiskan kepada wakil yang ditunjuk, dokter, atau anggota lain dalam tim perawatan kesehatan. Jika keinginan tersebut tidak dapat diketahui tindakan yang diambil haruslah sepenuhnya hanya untuk kepentingan terbaik pasien dengan mempertimbangkan: (a) diagnosis dan prognosis pasien; (b) nilai-nilai yang diketahui; (c) informasi dari orang-orang penting dalam kehidupan pasien dan siapa yang dapat membantu mengetahui keinginan terbaik pasien; dan (d) aspek budaya dan agama pasien yang mungkin mempengaruhi keputusan yang akan diambil.

Pendekatan ini mungkin kurang pasti dibanding jika pasien telah meninggalkan permintaan khusus mengenai tindakan, namun hal tersebut dapat membuat wakil yang ditunjuk tidak bisa membuat kesimpulan dalam hal pilihan-pilihan selain yang dibuat pasien, dan pendekatannya terhadap kehidupan secara umum, apa yang mungkin akan diputuskan oleh pasien dalam keadaan yang sebenarnya.

Kompetensi membuat keputusan medis dapat saja sulit dinilai terutama untuk anak muda dan orang dengan kapasitas pemahaman yang telah rusak oleh penyakit akut maupun kronik. Seseorang dapat saja kompeten dalam mengambil keputusan untuk satu aspek dalam kehidupan namun tidak pada aspek yang lain. Dan kompetensi dapat juga bersifat intermiten. Walaupun pasien seperti ini tidaklah kompeten secara hukum, keinginannya harus menjadi bahan pertimbangan saat keputusan dibuat untuk pasien tersebut.

Declaration on the Rights of the Patients menyatakan: Jika pasien memiliki kompetensi minor atau tidak legal, ijin dari wakil yang sah, jika memang relevan secara hukum tetap diperlukan, meskipun demikian pasien harus tetap dilibatkan dalam pengambilan keputusan sejauh kapasitas pasien yang masih memungkinkan” Tak jarang pasien tidak dapat membuat keputusan dengan pemikiran penuh dan beralasan mengenai pilihan-pilihan tindakan yang berbeda karena ketidak nyamanan dan kerusakan yang disebabkan oleh penyakit yang dideritanya. Walaupun mereka masih dapat mengisyaratkan penolakan mereka terhadap suatu intervensi tertentu, contohnya infus makanan secara i.v., dalam hal ini ekspresi penolakan haruslah diperhatikan secara serius walaupun harus juga dipertimbangkan tujuan menyeluruh dari semua rencana perawatan yang akan diberikan kepada pasien tersebut.

Pasien yang menderita kelainan neurologi atau psikiatri yagn jelas dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain memunculkan masalah etis yang sulit. Penting untuk menghormati hak-hak mereka, terutama hak untuk mendapatkan kebebasan sejauh mungkin. Meskipun demikian mereka mungkin harus diyakinkan dan/atau diperlakukan bertentangan dengan keinginan mereka agar tidak menyakiti diri sendiri atau orang lain. Ada perbedaan antara involuntary confinement dan involuntary treatment. Beberapa pengacara pasien mempertahankan hak pasien tersebut untuk menolak perawatan meski telah diyakinkan hasilnya. Alasan yang dapat diterima kenapa menolak perawatan dapat saja karena “….pasien harus tetap dilibatkan dalam pengambilan keputusan sejauh kapasitas pasien yang masih memungkinkan” pengalaman yang menyakitkan terhadap perawatan sebelumnya seperti efek samping berat karena pengobatan psikotropik. Jika bertindak sebagai wakil pasien, dokter harus yakin bahwa pasien benar-benar menghadapi bahaya, bukan hanya karena mengganggu orang lain maupun diri sendiri. Dokter harus mencoba meyakinkan keinginan pasien terhadap terapi dan alasannya, meski pada akhirnya tidak terpenuhi.

KERAHASIAAN
Tugas dokter untuk menjaga kerahasiaan informasi pasien merupakan dasar pokok dalam etika kedokteran sejak jaman Hippocrates. Sumpah Hippocrates menyebutkan: “Apa yang mungkin aku lihat atau dengar dalam perawatan atau bahkan di luar perawatan yang saya lakukan yang berhubungan dengan kehidupan manusia, yang tidak boleh disampaikan ke luar, saya akan menyimpannya sebagai sesuatu yang memalukan untuk dibicarakan”. Sumpah ini, dan versi yang lebih baru, tidak menempatkan perkecualian dalam tugas menjaga kerahasiaan.

Kode Etik Kedokteran Internasional dari WMA menyatakan “Seorang dokter harus menjaga kerahasiaan secara absolut mengenai yang dia ketahui tentang pasien-pasien mereka bahkan setelah pasien tersebut mati”. Namun kode etik yang lain menolak adanya absolutisme kerahasiaan. Kemungkinan mengapa rahasia dapat tembus/dibuka, kadang karena panggilan hukum terhadap klarifikasi kerahasiaan itu sendiri.

Nilai yang tinggi yang ditempatkan pada kerahasiaan mempunyai tiga sumber: otonomi, penghargaan terhadap orang lain, dan kepercayaan. Otonomi berhubungan dengan kerahasiaan karena informasi pribadi tentang seseorang adalah miliknya sendiri dan tidak boleh diketahui orang lain tanpa ijinnya. Jika seseorang membuka informasi pribadi kepada orang lain seperti dokter atau suster, atau jika informasi muncul pada saat pemeriksaan medis, haruslah tetap dijaga kerahasiaannya kecuali diijinkan untuk dibuka dengan sepengetahuan pribadi.

Kerahasiaan juga penting karena manusia berhak dihargai. Salah satu cara penting dalam menunjukkan penghormatan adalah dengan menjaga privasi mereka. Dalam seting medis, privasi kadang betul-betul dikompromikan, namun lebih karena untuk menjaga kehidupan pribadi pasien supaya tidak terlalu terganggu, yang hal ini memang tidak diperlukan. Karena setiap orang berbeda dalam keinginannya untuk terhadap privasi, kita tidak dapat mengasumsikan bahwa setiap orang ingin diperlakukan seperti kita ingin diperlakukan. Perhatian harus diberikan untuk menentukan informasi pribadi mana yang ingin tetap dijaga kerahasiaannya oleh pasien dan mana yang boleh dibeberkan kepada orang lain.
“Seorang dokter harus menjaga kerahasiaan secara absolut mengenai yang dia ketahui tentangpasien- pasien mereka bahkan setelah pasien tersebut mati”.

Kepercayaan merupakan bagian penting dalam hubungan dokter-pasien. Untuk dapat menerima perawatan medis, pasien harus membuka rahasia pribadi kepada dokter atau orang yang mungkin benar-benar asing bagi mereka mengenai informasi yang mungkin tidak ingin diketahui orang lain. Mereka pasti memiliki alasan yang kuat untuk mempercayai orang yang memberikan perawatan bahwa mereka tidak akan membocorkan informasi tersebut.

Kepercayaan merupakan standar legal dan etis dari kerahasiaan dimana profesi kesehatan harus menjaganya. Tanpa pemahaman bahwa pembeberan tersebut akan selalu dijaga kerahasiaannya, pasien mungkin akan menahan informasi pribadi yang dapat mempersulit dokter dalam usahanya memberikan intervensi efektif atau dalam mencapai tujuan kesehatan publik tertentu.
Declaration on the Rights of the Patients yang dikeluarkan oleh WMA memuat hak pasien terhadap kerahasiaan sbb:
• Semua informasi yang teridentifikasi mengenai status kesehatan pasien, kondisi medis, diagnosis, prognosis, dan tindakan medis serta semua informasi lain yang sifatnya pribadi, harus dijaga kerahasiaannya, bahkan setelah kematian. Perkecualian untuk kerabat pasien mungkin mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang dapat memberitahukan mengenai resiko kesehatan mereka.
• Informasi rahasia hanya boleh dibeberkan jika pasien memberikan ijin secara eksplisit atau memang bisa dapat diberikan secara hukum kepada penyedia layanan kesehatan lain hanya sebatas “apa yang harus diketahui” kecuali pasien telah mengijinkan secara eksplisit.
• Semua data pasien harus dilindungi. Perlindungan terhadap data harus sesuai selama penyimpanan. Substansi manusia dimana data dapat diturunkan juga harus dilindungi. Deklarasi ini juga menyatakan adanya perkecualian terhadap kewajiban menjaga kerahasiaan, beberapa hal relatif tidak masalah, tetapi yang lain dapat memunculkan masalah etik yang sulit bagi dokter.
Pembeberan (keterangan/membuka rahasia) adalah hal yang rutin dalam kerahasiaan, sering muncul di sebagian besar institusi kesehatan. Banyak orang seperti dokter, perawat, teknisi lab, mahasiswa, dll memerlukan akses terhadap rekam medis pasien untuk memberikan perawatan yang baik terhadap orang tersebut dan bagi mahasiswa untuk mempelajari bagaimana praktek pengobatan. Jika pasien berbicara dengan bahasa yang berbeda dengan perawatnya, diperlukan penterjemah untuk menjembatani komunikasi. Dalam kasus dimana pasien tidak kompeten dalam membuat keputusan medis, orang lain harus diberi informasi mengenai pasien tersebut agar dapat mewakili pasien tersebut dalam membuat keputusan.

Dokter secara rutin menginformasikan kepada anggota keluarga pasien yang sudah meninggal tentang penyebab kematian. Pembeberan terhadap kerahasiaan ini dibenarkan namun harus tetap dijaga seminimal mungkin, dan bagi siapa yang mendapatkan informasi rahasia tersebut harus dipastikan sadar untuk tidak mengatakannya lebih jauh lagi dari pada yang diperlukan untuk kebaikan pasien. Jika mungkin pasien harus diberitahu bahwa telah terjadi pembeberan. Alasan lain yang dapat diterima terhadap pembeberan kerahasiaan adalah untuk memenuhi tuntutan hukum. Contohnya, hakim mempunyai hukum yang mewajibkan pelaporan pasienpasien yang menderita penyakit tertentu, yang dianggap tidak layak untuk menyetir kendaraan, dan yang dicurigai merupakan kasus penyiksaan anak. Dokter harus sadar terhadap kewajiban pelaporan tersebut. Namun tututan hukum tersebut kadang bertentangn dengan hak asasi manusia yang mendasari etika kedokteran sehingga dokter harus melihat secara hati-hati dan kritis terhadap semua permintaan hukum untuk pembeberan kerahasiaan dan memastikan bahwa hal tersebut benar sebelum melakukannya.

Jika dokter dibujuk untuk memenuhi tuntutan hukum untuk membuka informasi medis pasiennya, dokter harus terlebih dahulu membicarakannya dengan pasien perlunya pembeberan tersebut sebelumnya dan memastikan kerjasama dari pasien. Contohnya bagi pasien yang dicurigai merupakan korban penyiksaan anak, maka lebih baik memanggil badan perlindungan anak dan dengan kehadiran dokter pasien melaporkjan sendiri, atau dokter terlebih dahulu meminta ijin pasien sebelum yang berwenang dipanggil. Hal ini akan lebih baik jika memang akan ada intervensi lebih jauh.

Jika tidak ada kerjasama dan dokter punya alasan dan percaya bahwa penundaan pemberitahuan dapat membahayakan anak tersebut, maka dokter harus segera memberitahu lembaga perlindungan anak dan selanjutnya memberitahukan kepada pasien bahwa hal tersebut telah dilakukan.
Terhadap kerahasiaan yang diminta oleh hukum, dokter mempunyai tugas etik untuk membagi informasi dengan orang yang mungkin berada dalam bahaya karena pasien tersebut. Dua keadaan dimana hal ini dapat terjadi adalah saat pasien mengatakan kepada psikiater bahwa dia berniat menyakiti orang lain dan saat dokter yakin bahwa pasien yang dihadapinya HIV Positif namun tetap meneruskan hubungan seks yang tidak aman dengan pasangannya atau dengan orang lain.
“…dokter harus melihat secara hati-hati dan kritis terhadap semua permintaan hukum untuk pembeberan kerahasiaan dan memastikan bahwa hal tersebut benar sebelum melakukannya.”

Tuntutan terhadap pembeberan kerahasiaan yang tidak diminta oleh hukum namun harus tetap dilakukan adalah saat dimana akan ada bahaya yang diyakini mengancam, serius dan tidak terbalikkan, tidak terhindarkan, kecuali dengan membeberkan informasi yang sebenarnya tidak boleh dibeberkan. Dalam menentukan proporsionalitas bahaya yang mungkin timbul, dokter harus menilai dan membandingkan keseriusan bahaya dan kemungkinan terjadinya. Jika masih diragukan, akan lebih baik bagi dokter untuk mencari masukan dalam hal ini dari orang yang lebih ahli.

Jika dokter telah memastikan bahwa tugas untuk mengingatkan ahli hukum akan hal (pembeberan) yang bertentangan dengan aturan sudah dilakukan, maka dua keputusan lebih lanjut harus dibuat. Siapa yang diberi tahu? Dan berapa banyak? Secara umum pembeberan hanya sebatas informasi yang memang diperlukan untuk mencegah bahaya yang ingin diantisipasi dan hanya diberikan kepada orang yang memang dapat mencegah bahaya tersebut. Langkah-langkah yang logis harus diambil untuk meminimalkan bahaya dan serangan atas pasien yang mungkin terjadi karena pembeberan informasi tersebut.

Disarankan untuk memberitahukan pasien bahwa telah terjadi pembeberan informasi namun hanya untuk melindungi pasien tersebut dan korban yang mungkin akan timbul. Kerjasama pasien harus diperoleh jika mungkin.
Dalam kasus pasien HIV positif pembeberan informai kepada pasangan atau partner s*ksnya saat itu bukanlah sesuatu yang tidak etis, dan bahkan dibenarkan jika pasien tidak bersedia menginformasikannya kepada orang (orang-orang) tersebut bahwa dia (mereka) dalam resiko. Pembenaran dari pembeberan informasi haruslah berdasar: partner beresiko terinfeksi HIV namun tidak mengetahui kemungkinan terinfeksi; pasien menolak memberi tahu pasangan seksnya; pasien menolak bantuan dokter untuk melakukannya; dan dokter telah mengatakan kepada pasien untuk memberitahu pasangannya.

Perawatan medis terhadap orang yang diduga atau terlibat tindak kriminal menjadi masalah yang sulit jika dihubungakan dengan kerahasiaan yang harus dijaga. Walaupun dokter mempunyai keterbatasan dalam melakukan perawatan terhadap orang yang sedang menjalani hukuman, dokter tetap harus melakukan yang terbaik yang bisa dilakukan seperti terhadap pasien yang lain. Khususnya dokter tidak boleh memberitahukan kepada pejabat penjara secara detail kondisi medis pasien tanpa terlebih dahulu meminta ijin kepada pasien.

MASALAH DI AWAL KEHIDUPAN
Masalah etis yang muncul dalam etika kedokteran sebagian besar berhubungan dengan masalah di awal kehidupan. Manual ini hanya terbatas karena masalah tersebut tidak bisa dijelaskan dalam manual ini secara detail namun tetap penting untuk diketahui agar paham segi etisnya dan bagaimana berhadapan secara etis pula. Setiap masalah yang muncul telah menjadi bahan analisis yang luas dari organisasi kedokteran, lembaga penasehat pemerintah dan etik, dan di banyak negara terdapat hukum, regulasi, dan kebijakan yang menyangkut masalah tersebut.
• KONTRASEPSI. Walaupun ada peningkatan pengakuan dunia internasional terhadap hak perempuan untuk mengontrol kesuburannya, termasuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan, dokter tetap harus menghadapi masalah sulit seperti permintaan kontrasepsi mulai dari yang sederhana dan menjelaskan resiko dari berbagai metode kontrasepsi yang berbeda.
• REPRODUKSI BUATAN. Bagi pasangan atau pribadi yang tidak bisa menjadi hamil secara alami ada berbagai teknik reproduksi dengan bantuan seprti insemenasi buatan dengan fertilisasi in vitro dan transfer embrio, yang mudah didapat di pusat kesehatan utama. Tidak ada satupun teknik yang tidak problematik baik bagi individu maupun bagi kebijakan publik.
• PRENATAL GENETIC SCREENING. Sekarang ini ada tes-tes genetik untuk melihat apakah embrio atau fetus menderita suatu abnormalitas genetik dan untuk melihat apakah laki-laki atau perempuan. Tergantung dari penemuannya, dapat diambil keputusan apakah terus meneruskan kehamilan atau tidak. Dokter harus menentukan kapan dapat menawarkan tes seperti itu dan bagaimana menjelaskan hasilnya kepada pasien.
• ABORSI. Aborsi telah lama menjadi salah satu masalah dalam etika kedokteran yang paling beraneka ragam, baik bagi dokter maupun pemegang kebijakan publik. Statement on Therapeutic Abortion yang dikeluarkan oleh WMA menghargai keberagaman pendapat mengenai masalah ini dan menyimpulkan bahwa: ”Ini merupakan masalah keyakinan dan hati nurani pribadi yang harus dipahami”.
• NEONATUS DENGAN KELAINAN BERAT. Karena prematuritas ekstrim atau abnormalitas kongenital, beberapa janin mempunyai prognosis yang buruk untuk dapat bertahan. Keputusan yang sulit kadang harus diambil apakah mencoba untuk memperpanjang hidup ataukah membiarkannya meninggal.
• PENELITIAN. Ini termasuk produksi embrio baru atau penggunaan ’suku cadang’ embrio (yang tidak dimaksudkan untuk tujuan reproduksi) untuk mendapatkan stem cell yang potensial digunakan dalam aplikasi terapi, percobaan teknik baru dalam reproduksi buatan, dan eksperimentasi terhadap janin.

MASALAH DI AKHIR KEHIDUPAN
Masalah di akhir kehidupan beragam dari usaha memperpanjang hidup pasien yang sekarat sampai teknologi eksperimental canggih seperti implantasi organ binatang, percobaan mengakhiri hidup lebih awal melalui euthanasia dan bunuh diri secara medis. Di antara hal- hal yang ekstrim tersebut ada banyak masalah seperti memulai atau menghentikan perawatan yang dapat memperpanjang hidup, perawatan pasien dengan penyakit stadium terminal serta kelayakan dan penggunaan peralatan bantuan hidup lanjut.
Dua masalah yang pantas mendapat perhatian khusus: euthanasia dan bantuan bunuh diri.
• EUTHANASIA adalah tahu dan secara sadar melakukan suatu tindakan yang jelas dimaksudkan untuk mengakhiri hidup orang lain dan juga termasuk elemen-elemen berikut: subjek tersebut adalah orang yang kompeten dan paham dengan penyakit yang tidak dapat disembuhkan yang secara sukarela meminta hidupnya diakhiri; agen mengetahui tentang kondisi pasien dan menginginkan kematian dan melakukan tindakan dengan niat utama mengakhiri hidup orang tersebut; dan tindakan dilakukan dengan belas kasih dan tanpa tujuan pribadi.
• BANTUAN BUNUH DIRI berarti tahu dan secara sadar memberikan kepada seseorang pengetahuan atau alat atau keduanya yang diperlukan untuk melakukan bunuh diri, termasuk konseling mengenai obat dosis letal, meresepkan obat dosis letal, atau memberikannnya. Euthanasia dan bunuh diri dengan bantuan sering dianggap sama secara moral, walaupun antara keduanya ada perbedaan yang jauh secara praktek maupun dalam hal yuridiksi legal. Euthanasia dan bunuh diri dengan bantuan secara definisi harus dibedakan dengan menundaatau menghentikan perawatan medis yang tidak diinginkan, sia-sia atau tidak tepat atau ketentuan perawatan paliatif, bahkan jika tindakan-tindakan tersebut dapat memperpendek hidup.

Permintaan euthanasia dan bantuan bunuh diri muncul sebgai akibat dari rasa sakit atau penderitaan yang dirasa pasien tidak tertahankan. Mereka lebih memilih mati dari pada meneruskan hidup dalam keadaan tersebut. Lebih jauh lagi, banyak pasien menganggap mereka mempunyai hak untuk mati dan bahkan hak memperoleh bantuan untuk mati. Dokter dianggap sebagai instrumen kematian yang paling tepat karena mereka mempunyai pengetahuan medis dan akses kepada obat-obatan yang sesuai untuk mendapatkan kematian yang cepat dan tanpa rasa sakit.

Tentunya dokter akan merasa enggan memenuhi permintaan tersebut karena merupakan tindakan yang ilegal di sebagian besar negara dan dilarang dalam sebagian besar kode etik kedokteran. Larangan tersebut merupakan bagian dari sumpah Hippocrates dan telah dinyatakan kembali oleh WMA dalam Declaration on Euthanasia:
Euthanasia yang merupakan tindakan mengakhiri hidup seorang pasien dengan segera, tetaplah tidak etik bahkan jika pasien sendiri atau keluarga dekatnya yang memintanya. Hal ini tetap saja tidak mencegah dokter dari kewajibannya menghormati keinginan pasien untuk membiarkan proses kematian alami dalam keadaan sakit tahap terminal.

Penolakan terhadap euthanasia dan bantuan bunuh diri tidak berarti dokter tidak dapat melakukan apapun bagi pasien dengan penyakit yang mengancam jiwa pada stadium lanjut dan dimana tindakan kuratif tidak tepat. Pada tahun-tahun terakhir telah terjadi kemajuan yang besar dalam perawatan paliatif untuk mengurangi rasa sakit dan penderitaan serta meningkatkan kualitas hidup.

Pengobatan paliatif dapat diberikan pada pasien segala usia, dari anak-anak dengan penyakit kanker sampai orang tua yang hampir meninggal. Satu aspek dalam pengobatan paliatif yang memerlukan perhatian lebih adalah kontrol rasa sakit. Semua dokter yang merawat pasien sekarat harus yakin bahwa mereka mempunyai cukup ketrampilan dalam masalah ini, dan jika mungkin juga memiliki akses terhadap bantuan yang sesuai dari ahli pengobatan paliatif. Dan di atas semuanya itu, dokter tidak boleh membiarkan pasien sekarat namun tetap memberikan perawatan dengan belas kasih bahkan jika sudah tidak mungkin disembuhkan.

Pendekatan terhadap kematian memunculkan berbagai tantangan etis kepada pasien, wakil pasein dalam mengambil keputusan, dan juga dokter. Kemungkinan memperpanjang hidup dengan memberikan obat-obatan, intervensi resusitasi, prosedur radiologi, dan perawatan intensif memerlukan keputusan mengenai kapan memulai tindakan tersebut dan kapan menghentikannya jika tidak berhasil.

Seperti dibahas di atas, jika berhubungan dengan komunikasi dan ijin, pasien yang kompeten mempunyai hak untuk menolak tindakan medis apapun walaupun jika penolakan itu dapat ”....dokter tidak boleh membiarkan pasien sekarat namun tetap memberikan perawatan dengan belas kasih bahkan jika sudah tidak mungkin disembuhkan.” menyebabkan kematian. Setiap orang berbeda dalam menanggapi kematian; beberapa akan melakukan apapun untuk memperpanjang hidup mereka, tak peduli seberapapun sakit dan menderitanya; sedang yang lain sangat ingin mati sehingga menolak bahkan tindakan yang sederhana yang dapat membuat mereka tetap hidup seperti antibiotik untuk pneumonia bakteri. Jika dokter telah melakukan setiap usaha untuk memberitahukan kepada pasien semua informasi tentang perawatan yang ada serta kemungkinan keberhasilannya, dokter harus tetap menghormati keputusan pasien apakah akan memulai atau melanjutkan suatu terapi.

Pengambilan keputusan di akhir kehidupan untuk pasien yang tidak kompeten memunculkan kesulitan yang lebih besar lagi. Jika pasien dengan jelas mengungkapkan keinginannya sebelumnya seperti menggunakan bantuan hidup lanjut, keputusan akan lebih mudah walaupun bantuan seperti itu kadang sangat samar-samar dan harus diinterpretasikan berdasarkan kondisi aktual pasien. Jika pasien tidak menyatakan keinginannnya dengan jelas, wakil pasien dalam mengambil keputusan harus menggunakan kriteria-kriteria lain untuk keputusan perawatan yaitu kepentingan terbaik pasien.

KEMBALI KE KASUS
Berdasarkan analisis hubungan dokter-pasien yang dibahas dalam bab ini, tindakan dr P memiliki kekurangan dalam hal: (1) Komunikasi – dia tidak mencoba mengkomunikasikan kepada pasien mengenai kemungkinan penyebab kondisinya, pilihan-pilihan tindakan, dan kemammpuan pasien jika dia harus menginap di RS; (2) Ijin – dia tidak mendapat ijin dari pasien mengenai tindakan yang dilakukannya; (3) Belas Kasih – dia hanya menunjukkan sedikit belas kasih kepada pasien. Tindakan bedahnya mungkin memang sangat kompeten dan mungkin memang benar-benar capek di akhir tugas jaganya namun itu tidak melepaskannya dari kelalian etik.

10 komentar:

cah bontot mengatakan...

ini yg lebih relevan dg dunia kedokteran di Indonesia,monggo di klik aja:

http://www.scribd.com/doc/16401665/uupraktikkedokteran

mrpsycho mengatakan...

Dr P = Dokter Psycho ?

Anonim mengatakan...

sayangnya kebanyakan rumah sakit slogannya bisnis jalan terus, mba.. jadinya pasien deh yang di bisnisin..

cah bontot mengatakan...

ada yg lupa nih, yg lebih sesuai dg pikiran saya silahkan klik di ..
http://p4kundip.wordpress.com/2009/06/14/pasien-menggugat-atau-pasien-digugat/

Dream Competition mengatakan...

@cah bontot
terimaksih bro informasinya dan linknya.
Dengan adanya pasal 17 tentang penyumpahan dokter yang berbunyi :saya bersumpah/berjanji bahwa senantiasa akan menjalankan tugas dan wewenang saya ini dengan sungguh-sungguh seksama,obyektif,jujur,adil,tidak membeda-mbedakan jabatan,suku,agama,ras,gender,dan golongan tertentu dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya serta bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan yang Maha Esa,masyarakat (mustinya ada atau pasien)bangsa dan negara.Dengan kejadian-kejadian kenyataan sekarang ini yang banyak pasien/masyarakat mendapat ketidak puasan dalam pelayanan jasa ,berarti mereka (para dokter) melanggar sumpah dan janji mereka/UU dong.

PS: lagi nyeleneh aja.maaf ya guys akhir-akhir ini saya lagi tertarik baca-baca,jadi blognya penuh dengan bacaan hehhe,yang nggak suka nggak sah berkunjung tenang aja.

@mrpsycho
enak aja. dr.P itu = dr.Pujaanku xixixi

@chrysanti
sepertinya begitu sis hihi "time is money".

cah bontot mengatakan...

Apapun itu tetap hak anda utk menilai menurut kemampuan & pemahaman yg anda punyai ...

PS: Jangan mudah menghakimi dan mengeneralisasikan thd sesuatu (apalagi menyangkut integritas kelompok/profesi) yg anda sendiri sebenarnya belum paham, selain bisa tersesat & menyesatkan, jg menimbulkan prejudice yg tdk pada tempatnya...tks sis, OK case closed!

JO mengatakan...

ya ampun aku harus download dulu nih postingannya baru komen, gak cukup baca 1 jam ;).

orang beken mampir, hihihihih.

Dream Competition mengatakan...

@cah bontot
Thank you so much atas nasehatnya bro.tapi perlu saya paparkan lagi,bahwa saya tidak menghakimi seluruh dokter/seluruh profesi dokter telah melanggar UU atau telah membuat kesalahan terhadap tugasnya.Penghakiman saya berdasarkan dalil yang wujud/nyata yang di alami masyarakat/kawan yang telah menjadi korban.Dan saya sebagai salah satu masyarakat/calon pasien mempunyai hak untuk worry/kawatir kalau, suatu saat nanti ada salah seorang dokter yang melakukan kesalahan yang sama terhadap diri saya/teman/family saya.

untuk salah satu bukti kunjungi link http://sorot.vivanews.com/news/read/34856-tabib_pengantar_maut.

@Jeng sri
terimaksih kunjungannya sis.salam kenal

natazya mengatakan...

baru baca yang begini

kodet dokter ya?

hm.. mungkin dokter2nya bu prita kemarin lupa sama kodet profesinya sendiri ya :)

Aisha mengatakan...

@natzya
mungkin iya,mungkin juga tidak sis,yakni di sengaja ehheh.